banner 728x250

Diskusi “Otoritarianisme Legal: Antara Hukum dan Kekuasaan”

banner 468x60

Nusantarazona.com,Jakarta, 2 Agustus 2025 — Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jakarta Selatan menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Otoritarianisme Legal: Antara Hukum dan Kekuasaan” yang menghadirkan dua narasumber kritis: Romo Setyo (Pengajar STF Driyarkara) dan Feri Amsari (Pakar Hukum Tata Negara). Diskusi yang dimoderatori oleh Bung Dhiva ini berlangsung secara terbuka dan dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai kampus serta elemen organisasi kemahasiswaan.
Dalam paparannya, Feri Amsari mengkritik fenomena otoritarianisme legal sebagai bentuk otoritarianisme yang membungkus dirinya dengan legitimasi hukum. Ia menegaskan bahwa hukum saat ini kerap dijadikan alat untuk merampas hak-hak rakyat secara legal. Salah satu contohnya adalah UU Cipta Kerja yang disusun secara kilat dan minim partisipasi publik. Feri menyebut praktik ini sebagai bentuk “blitzkrieg legislasi”—strategi cepat dan membabi buta untuk meloloskan kebijakan represif.
Lebih jauh, ia menggarisbawahi bahwa otoritarianisme legal juga mewujud dalam bentuk rancangan undang-undang yang berpotensi membungkam kebenaran dan mengatur tindakan represif secara sistemik, seperti yang tercermin dalam RUU KUHAP. Feri juga mengkritik Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90 sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yudikatif dalam mendukung agenda kekuasaan.
“Solusinya bukan hanya perlawanan di jalanan, tapi juga keterlibatan aktif publik dalam proses legislasi. Tanpa itu, demokrasi hanya menjadi tameng bagi tirani yang dilegalkan,” ujar Feri.
Sementara itu, Romo Setyo menyoroti persoalan ini dari sisi historis dan moral. Ia menyatakan bahwa praktik otoritarianisme legal tidak dapat dibenarkan secara moral, dan justru menjadi ancaman serius terhadap nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan sejak Revolusi Prancis—dimana kekuasaan yang tak terbatas mulai dibatasi melalui institusi hukum.
Romo Setyo mengutip teori Moises Naím tentang Revenge of Power yang menjelaskan bagaimana kekuasaan hari ini kembali mencari celah untuk memperluas dirinya melalui tiga jalan: populisme, polarisasi, dan post-truth. Ia menilai, dalam konteks Indonesia, ketiganya tumbuh subur—mulai dari bangkitnya populisme berbasis agama, ideologi, partai hingga budaya, yang pada akhirnya melahirkan masyarakat yang terpolarisasi dan kehilangan pegangan pada kebenaran objektif.

“Fenomena ini hanya mungkin terjadi di negara demokrasi, karena hanya dalam ruang demokrasi hukum bisa dipelintir menjadi alat dominasi baru,” jelas Romo, sembari menyinggung warisan praktik serupa di era Orde Baru.
Diskusi ini menjadi ruang reflektif sekaligus peringatan akan kian menguatnya praktik-praktik represif berbaju legalitas. GMNI Jakarta Selatan berharap forum ini tak sekadar menjadi ajang pembacaan situasi, melainkan juga menjadi landasan untuk merumuskan formulasi gerakan yang relevan dengan tuntutan sejarah.
Bagi kami, esensi marhaenisme adalah keberpihakan. Selama masih ada buruh yang haknya dirampas, petani yang tanahnya dirampok, dan rakyat yang dikorbankan demi akumulasi kuasa, maka segala kenyamanan hari ini bukanlah hasil perjuangan, melainkan hasil kompromi yang tak bisa dibenarkan.

Merdeka!!!

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *